💍 *SERI KISAH TELADAN*
♻ *DUKA DI BAWAH LANGIT THO'IF.*
Hari ini saya diberi kesempatan untuk mengunjungi kota Thaif lagi. Seperti biasa, setiap kali mengunjungi kota ini, hati saya selalu dihinggapi perasaan haru.
Setiap sudut kota seolah berlomba membisikkan fragmen demi fragmen kisah yang begitu menyayat hati. Kisah tentang takdir dakwah yang memaksa memori ini mundur melewati lorong waktu ke 14 abad yang lalu.
Tahun itu langit Makkah seolah larut dalam duka. Dua orang yang begitu menyayangi Rasulullah wafat dalam waktu yang berdekatan.
Sang istri yang selalu meneguhkan dan sang paman yang selalu tampil sebagai pembela.
Kepergian keduanya menorehkan luka yang mendalam.
Tekanan terhadap dakwah semakin menjadi-jadi.
Penyiksaan demi penyiksaan terus dialami nabi dan para sahabat.
Dunia seolah tak menyisahkan ruang baginya, kesedihan nampak jelas dari raut wajahnya.
Hatinya seolah berbisik, *"Kemana lagi aku harus pergi.?*
*Kemana aku harus mencari perlindungan dari gangguan kafir Quraisy..?*
Setelah berfikir panjang, ia memutuskan pergi sejauh 85 km ke arah selatan Makkah, jauh di balik bukit-bukit curam nan terjal.
Bersama Zaid bin Haritsah, ia menaklukkan medan yang cukup sulit dengan berjalan kaki.
Hatinya seolah berbisik, *"mudah-mudahan ada secercah harapan disana."*
Sesampainya di Tho'if, ia langsung menemui para pembesar bani Tsaqif dan mengutarakan maksud kedatangannya.
Namun respon para pembesar bani Tsaqif diluar dugaan. Bukan sambutan hangat yang diterimanya, tapi justru umpatan dan sumpah serapah.
"Tersobeklah tirai Ka'bah bila Sang Rabb mengutusmu",
"Apakah Tuhan tidak menemukan orang selain dirimu..?".
Kalimat-kalimat tersebut lepas dari bibir para pembesar Tsaqif tanpa henti. Tak sampai disitu, penolakan itu berbuntut pengusiran. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak memaksa mereka untuk menerima dakwahnya.
Dengan lembut Rasulullah mengajukan sejumlah permintaan kepada mereka.
*“Bila kalian menolak untuk memberikan perlindungan dan masuk Islam, maka kuharap kalian tidak mengabarkan kepada Quraisy bahwa aku datang untuk meminta pertolongan.”*
Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh para pembesar Tha’if. Mereka seolah keluar dari tabi'at bangsa arab yang sangat menghargai siapapun yang meminta perlindungan.
Mereka mengutus beberapa utusan ke Makkah untuk mengabarkan perihal Rasulullah dan maksud kedatangannya.
Karena beberapa permintaan sebelumnya ditolak, nabi shallallahu alaihi wasallam mengajukan permintaan terakhir.
*“Bila kalian menolak, biarkan aku pergi,”* pinta nabi dengan lembut.
Ternyata mereka tidak membiarkan Rasulullah pergi begitu saja. Mereka mengerahkan anak-anak dan para budak untuk melempari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan batu. Sebuah tindakan yang tak hanya sebatas pengusiran, namun juga sebagai bentuk hinaan.
Lemparan demi lemparan mengenai sekujur tubuh rasulullah, kepala beliau terluka, darah mengucur dari atas kepala hingga membasahi terompahnya.
Betapa malangnya engkau wahai rasulullah....,
Betapa kasarnya perbuatan penduduk Tho'if terhadapmu. Jangankan menerima, menolak dengan baik pun mereka enggan.
Setelah berlari sejauh tiga mil, tubuh yang kokoh itu perlahan mulai lunglai. Ia tersandar lelah dibalik tembok yang mengitari rimbunnya kebun anggur milik Utbah dan Syaibah, keduanya merupakan putra Rabi'ah salah seorang pembesar Quraisy.
Keduanya termasuk orang yang paling memusuhi Islam, namun karena melihat kondisi nabi yang cukup parah, permusuhan itu berubah menjadi iba.
Singkatnya, mereka berdiam disana hingga matahari terbenam dan malam menghamparkan tabirnya.
Malam itu juga mereka memutuskan untuk kembali ke Makkah. Ditengah keletihan yang mendera, disaat tetesan darah yang terus mengalir, ia terus memikirkan akan kondisi para sahabatnya yang terus mengalami siksaan di kota mekah.
Ingatan membawanya pada Khadijah dan Abu Tholib yang telah tiada.
Kini tak ada pilihan lain selain mengadukan nestapa yang teramat pahit itu kepada sang Khaliq.
Dengan nafas yang tersengal, mulut sucinya berucap, "
اللَّهمَّ إليك أشكو ضَعْف قوَّتي، وقلَّة حيلتي، وهواني على النَّاس، يا أرحم الرَّاحمين، أنتَ ربُّ المستضعفين وأنت ربِّي، إلى من تَكِلُني؟ إلى بعيدٍ يتجهَّمني؟ أم إلى عدوٍّ ملَّكْتَه أمري؟ إن لم يكن بك عليَّ غضبٌ فلا أبالي، ولكنَّ عافيتك هي أوسع لي، أعوذ بنور وجهك الَّذي أشرقَتْ له الظُّلمات، وصلحَ عليه أمر الدُّنيا والآخرة مِن أن تُنْزِل بي غضبك، أو يحلَّ عليَّ سخطك، لك العُتْبَى حتَّى ترضى، ولا حول ولا قوَّة إلا بك
*“Wahai Allah Tuhanku...*
*Kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan daya upayaku dan kehinaanku di hadapan sesama manusia.*
*Wahai Allah Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih.Engkau adalah pelindung orang-orang yang lemah dan teraniaya. Engkau adalah pelindungku. Tuhanku, kepada siapa Engkau serahkan diriku?*
*Apakah kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh yang menguasai diriku..?*
*Asal Engkau tidak murka padaku, maka aku tidak perduli semua itu. Keafiatan dan karunia-Mu lebih luas bagiku..*
*Aku berlindung dengan cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Engkau timpakan kepadaku.* *Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku. Tiada daya dan upaya melainkan dengan-Mu”*
Sahabat...
Kau dengar do'a itu ..?
Tak ada cercaan disana, beliau sama sekali tidak membalas caci maki orang-orang yang mengusirnya.
Ia bahkan tak meminta agar Allah membinasakan penduduk Thoif.
Bahkan saat malaikat utusan Allah datang menawarkan azab kepada penduduk Makkah yang membuatnya menelan pahitnya hinaan, dengan hati yang lapang dan penuh optimis beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab:
🍃 *“(Tidak), bahkan aku berharap agar Allah azza wa jalla mengeluarkan dari shulbi mereka orang-orang yang beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”.*
(HR. Bukhori Muslim).
Allahu Akbar...
Sebuah pilihan dan sikap yang menunjukkan kebesaran jiwa.
Kisah pilu itu masih panjang, namun aku tidak ingin menyita waktumu.
Yang jelas, kisah di Thoif mengajari kita bahwa:
1⃣ Pengorbanan dan kesabaran adalah ruh dari sebuah perjuangan
2⃣ Mendokan kebinasaan terhadap orang-orang yang zhalim tak selalu menjadi pilihan. Kita harus optimis dan memandang jauh kemana arah dakwah ini bermuara. Bila generasi hari ini tidak mengaminkan dakwah kita, maka esok ada anak cucu mereka yang bisa menjadi harapan.
Apa jadinya bila Rasulullah mengaminkan tawaran malaikat utusan Allah untuk menimpakan akhsyabain kepada penduduk Makkah..?
Mungkin kita tidak akan melihat Makkah yang dipenuhi para penghafal Al-Qur'an dan ahli ilmu seperti saat ini.
3⃣ Perjalanan nabi ke Thoif bukan untuk tujuan politik, mengejar jabatan atau kedudukan. Tapi semata-mata demi mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dan dari kesyirikan menuju tauhid yang murni. Itulah tema sentral dari dakwah para nabi dan rasul Allah, dan diatas prinsip itulah kita membangun dakwah ini.
Akhi fillah...
Kita mungkin tidak keluar dari shulbi bani Tsaqif, namun kita adalah ummat yang pernah dirindukannya.
Kawan..
→ Dahulu dia pernah menangis karena kita..
→ Dia pernah terusir karena kita..
→ Dia pernah terluka karena kita..
→ Dia pernah tersakiti karena kita..
→ Iya, kita yang dulu pernah dirindukannya..
→ Kita yang beriman kepadanya meski tak pernah melihat raut wajahnya saat sedih, gundah, tersiksa dan terusir karena kita.
Namun...
Sudahkah kita layak untuk dirindukan..?
Andai detik ini rasulullah bertamu kerumah kita, sudah siapkah kita menyambutnya..?
*Di saat sholat masih sering kita lalaikan, aurat masih sering kita umbar, sunnah masih sering kita abaikan, musik dan nyanyian masih sering kita dengarkan, maksiat masih sering kita lakukan..?*
*Andai detik ini rasulullah mengetuk pintu rumah kita, sudah siapkah kita membukakan pintu untuknya..?*
Simpan semua jawaban itu di dalam hatimu, lalu terjemahkan dalam tingkah lakumu.
Baarakallahu fiikum
ACT-EL Gharantaly, Kota Tho'if 1438H.