Pada suatu sore pertengahan Desember, saya berjalan menuju ruang kelas di mana mahasiswa-mahasiswa di program S2 Media dan Komunikasi Fisip Universitas Airlangga telah menanti. Waktu itu hujan rintik. Sebelum sampai di gedung tempat kelas, saya terkesiap ketika memandang ke arah kanan.
Tempat dimana ada gerobak sampah. Dia, seorang tukang kebersihan yang tua, sedang mencurahkan kasih sayangnya. Lembut dan perhatian, dia menyuapi tiga ekor kucing dengan sisa susu kental manis yang ditemunya diantara sampah.
Tukang kebersihan itu khusuk. Tak peduli hujan rintik memukul tubuh keringnya. Dia mencurahkan perhatian pada tiga kucing yang sedang terlihat lapar. Tukang kebersihan tua itu membuka kaleng susu kental manis dengan payah. Beberapa kali congkelan besi kecil di tangannya akhirnya berhasil membuka lebih lebar kaleng susu tersebut.
Sang tua tukang kebersihan segera menuangkan tetes susu manis tersebut ke dekat dua kucing berbulu putih. Lalu, manja sekali kucing-kucing itu menikmatinya. Sedangkan hujan makin rintik, angin melempar dingin ke setiap penjuru. Saya menggigil. Namun, melihat sang tua yang begitu cinta, saya makin menggigil.
Saya melihat kemegahan cinta di antara tumpukan sampah, bau asam dan lendir sisa-sisa makanan. Ini bukan hal remeh. Sebab tidak setiap insan mampu melakukannya. Hanya terhadap binatang liar, ia seperti mengabdi tanpa beban. Hati kecil bertanya, kepada siapa dia sang tua tukang kebersihan itu sesungguhnya mengabdi?
Jika dia mengabdi kepada kucing semata, tentu tidak mungkin. Sebab kucing tidak akan memberinya balasan materi. Sepertinya halnya banyak bawahan, pejabat pemerintahan, perusahaan atau organisasi rela mengabdi kepada atasan agar teruntungkan dari segi apapun. Akan tetapi itu adalah pengabdian semu, palsu. Pengabdian yang bersandiwara. Sebab memiliki harga, memiliki price tag. Sedangkan sang tua tukang sampah tersebut tidak akan memberi price tag pada pengabdiannya.
Sang tua tukang kebersihan sampah, dalam tafsir saya, sedang mengabdi pada cinta, pada sebentuk kasih sayang paling murni. Yaitu cinta yang tak berharap meminta kembali, namun cinta yang memancar dan memberi. Seperti halnya para salih yang sangat dekat dengan cahaya Tuhan. Sang tua ini, bagi saya adalah kemegahan cinta itu sendiri.
Bagaimana dengan para pemimpin politik, pejabat dan insan-insan yang memiliki sumber kekuasaan? Apakah mereka bisa mengabdi karena memiliki kemegahan cinta dalam rumah hidupnya? Jika ya, mengapa masih saja ditemukan para pejabat korup, pejabat yang abai pada insan-insan tidak mampu. Atau pemilik modal ekonomi besar yang lebih berat memikirkan cara akumulasi profit dan kekayaannya sendiri.
Begitu pun diri ini, berkaca pada sang tua tukang kebersihan sampah. Apa benar selama ini telah mengabdi tanpa price tag, tanpa harapan akumulasi profit? Ah pertanyaan ini benar-benar menyudutkan, memancing ego mencari pembenaran.
Sobats, cinta tanpa price tag ini sudahkah menjadi bagian dari kehidupan kita? (sang chef-Novri Susan)
@sumber : http://novrisusan.com/2014/12/19/cinta-tanpa-price-tag/